Dompu (EDITOR News) – Tersangka dugaan penggelapan NK (34), swasta, alamat Kelurahan Montabaru, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, mempraperadilankan Kepolisian Resort Dompu dan Kejaksaan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Melalui kuasa hukumnya Indi Suryadi, gugatan praperadilan didaftarkan di Pengadilan Negeri Dompu melalui loket Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada hari Jum’at, 30 September 2022, dengan perkara nomor 4/Pid.Pra/2022/Pn Dpu.
Indi mengungkapkan, praperadilan terhadap Polres dan Kejari Dompu terkait dengan penetapan tersangka kliennya oleh penyidik Polres Dompu yang diduga cacat hukum.
Dia mengatakan, cara kerja Polres Dompu terhadap proses hukum tersangka tidak mengacu kepada ketentuan hukum acara pidana, seperti contoh dengan mengeluarkan surat panggilan yang mana didalam ketentuan hukum acara mengatur bahwa tiga hari seseorang dipanggil maka surat panggilan itu sudah diterima. “Tapi ini, panggilannya hari ini lusa disuruh datang, itu satu,” terang dia.
Kemudian, didalam memanggil dengan istilah pro justitia penulisan identitas yang bersangkutan (tersangka, red) tidak benar contoh dari jenis kelamin. “Klien saya sejak awal jenis kelaminnya perempuan, tapi dalam panggilan pro justitia jenis kelamin laki laki. Hal-hal seperti ini sangat mempengaruhi proses,” ujarnya.
“Dengan adanya panggilan yang tidak benar dan waktu panggilan yang tidak sesuai hukum acara, jelas dalam penetapan tersangka tidak sesuai dengan ketentuan hukum,” ucap Indi.
Dia pun menerangkan perihal kenapa Kejaksaan Negeri Dompu salah satu yang digugat, karena ketika penyidik Kepolisian menganggap bahwa penyidikan dimulai maka menurut ketentuan kuhap di pasal 109, wajib penyidik memberitahukan Jaksa. “Kenapa dia memberitahukan Jaksa agar Jaksa sebagai pihak yang mengontrol sehingga pekerjaan tidak serampangan,” jelasnya.
Kasus yang menjerat kliennya dianggap lucu dikarenakan ada kaitan dengan kasus perdata yang digelar di PN Dompu dengan nomor perkara 17 yang sekarang sedang berjalan, yang mana kasus penggelapan ini tetap dilanjutkan sementara peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1956 itu sudah jelas menyebutkan ketika ada kaitan dengan benda antara sengketa perdata dengan pidana maka itu harus ditangguhkan, yang ditangguhkan disini proses pidana, namun faktanya proses pidana tetap dijalankan.
“Jadi penyidik tidak profesional didalam menerapkan hukum,” ia menutup keterangannya.