EDITOR, Dompu – Keputusan KPUD Dompu, Nusa Tenggara Barat yang menyatakan pasangan Syaifurrahman Salman – Ika Rizky Veryani (SUKA) tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pilkada Dompu tahun 2020 karena Syaifurrahman belum cukup 5 tahun waktu bebas dari penjara berdasarkan PKPU No. 1 tahun 2020 dan Surat Edaran KPU No. 735 tertanggal 5 September 2020 dibantah oleh ahli hukum Pidana.
Dalam sidang adjudikasi dihadapan majelis musyawarah Bawaslu Kabupaten Dompu (sebagai wasit sengketa Pilkada) yang dimohonkan tim hukum SUKA, Dr. Tongat seorang ahli hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Malang memberikan pendapat hukum dengan dalil-dalil, menyatakan, “Narapidana yang tidak lagi menjalani pidana penjara di LAPAS tidak lagi disebut sebagai Narapidana, tetapi sudah dapat dikualifikasikan sebagai mantan narapidana”.
Sidang digelar di kantor Bawaslu Sabtu, 3 Oktober 2020 dipimpin ketua majelis musyawarah Irwan dengam masing-masing anggota Yuyun Nurul Azmi dan Swastari HAZ.
Berikut isi lengkap pendapat ahli hukum Pidana Dr. Tongat.
A. Kasus posisi
Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Dompu berdasarkan Berita Acara Hasil Penelitian Perbaikan Persyaratan Calon Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020, tanggal 22 September 2020 dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dompu Nomor : 92/HK.03.1-Kpt/5205/KPU-Kab/IX/2020, tanggal 23 September 2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020.
Berkaitan dengan perbedaan penafsiran tentang salah satu syarat pencalonan Bupati dan Wakil Bupati yang secara ekplisit tertuang di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, khususnya pada (ii) jo Pasal 1 angka 21 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota jo Pasal 4 ayat (2a) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, yang pada intinya menyatakan, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
B. Peraturan Perundang-undangan Terkait
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait antara lain :
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
- PerMenkum dan HAM No. 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
C. Analisis
Berkaitan dengan frase telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau lewatnya waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana penjara dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, secara normatif bunyi tekstual Pasal 4 (2a) PKPU Nomor 1 Tahun 2020 dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, maka frase lewatnya waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana penjara dalam Pasal 4 (2a) PKPU Nomor 1 Tahun 2020 dapat ditafsirkan, sebagai lewatnya waktu 5 (lima) tahun sejak narapidana tersebut tidak lagi menjalani pidana penjara di LAPAS.
Mengingat secara tekstual (eksplisit) ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan jelas memberikan batasan, bahwa Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
Sehingga secara normatif, narapidana yang tidak lagi menjalani pidana penjara di LAPAS tidak lagi disebut sebagai Narapidana, tetapi sudah dapat dikualifikasikan sebagai mantan narapidana.
Penjelasan terhadap batasan tentang Narapidana sebagaimana secara eksplisit terumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan penting dijadikan sebagai acuan mengingat, tidak semua terpidana yang dijatuhi pidana penjara dapat disebut Narapidana.
Misalnya seseorang yang dijatuhi pidana bersyarat atau pidana percobaan. Melandaskan pada landasan hokum ini, maka sangat logis jika seseorang yang sudah tidak di LAPAS juga tidak disebut sebagai Narapidana, tetapi sebagai “mantan Narapidana”.
Oleh karena itu menjadi dapat dimengerti, jika Surat Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 30/Tuaka.Pid/IX/2015 khususnya pada poin ke-3 menyatakan, bahwa seseorang yang berstatus bebas bersyarat, karena pernah telah menjalani pidana di dalam LAPAS, maka dikategorikan sebagai mantan Narapidana.
Landasan atau cara berpikir ini didasarkan pada interpretasi secara gramatikal dan interpretasi secara sistematis.
Kedua, secara normatif bunyi tekstual Pasal 4 (2a) PKPU Nomor 1 Tahun 2020 juga dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, maka frase lewatnya waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana penjara dalam Pasal 4 (2a) PKPU Nomor 1 Tahun 2020 dapat ditafsirkan, sebagai lewatnya waktu 5 (lima) tahun sejak narapidana tersebut menjalani seluruh masa pidana sebagaimana putusan hakim.
Mengingat secara tekstual (eksplisit) ketentuan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengisyaratkan, bahwa pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS.
Ketentuan ini mengisyaratkan, bahwa proses menjalani pidana seorang terpidana juga dilakukan di BAPAS selain pembinaan yang dilakukan oleh LAPAS. Ketentuan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengisyaratkan, bahwa pembinaan terhadap “narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat” di BAPAS merupakan satu kesatuan pembinaan yang terintegrasi dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Oleh karena itu, menjalani pembimbingan di BAPAS dikualifikasi sebagai termasuk menjalani masa pidana.
Sehingga menurut pemikiran ini, lewatnya waktu 5 (lima) tahun menjalani pidana penjara ditafsirkan sebagai lewatnya waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana secara keseluruhan (bebas murni).
Oleh karena itu menjadi dapat dimengerti, jika Pasal 1 angka 21 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menyatakan, bahwa mantan Terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Artinya sudah bebas murni, sehingga sudah tidak ada hubungan secara teknis dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Landasan atau cara berpikir ini juga didasarkan pada interpretasi secara gramatikal dan interpretasi secara sistematis.
Terlepas dari dua pandangan tersebut, maka menurut hemat ahli, ada hal yang lebih penting dan urgen untuk menjadi pertimbangan dalam menafsirkan tentang frase lewatnya waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana penjara.
Hal yang paling urgen itu adalah sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang merupakan tujuan utama pemasyarakatan.
Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan secara tegas menyatakan, bahwa sistem pemasyarakatan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk membentuk manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Karena itu, pertimbangan yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan keadilan secara faktual penting dikedepankan.
Salah satu tim hukum pemohon Rusdiansyah Jebhy mengatakan pendapat yang disampaikan ahli didalam persidangan sudah sangat jelas dan mencerdaskan para pihak, sehingga Bawaslu yang berkedudukan sebagai hakim dapat mengabulkan semua permohonan pasangan SUKA.
“Kami sangat yakin Bawaslu Dompu profesional dan bisa menjaga independensi sehingga semua permohonan kami dikabulkan semua,” ujar Jebhy. (my).
Ikuti berita Editor News di Google News, klik di sini.