Dompu [EDITOR I News] – Bukan saja peristiwa menggelegar meletusnya Gunung Tambora tahun 1815 silam yang mengguncang benua Eropa, namun ada cerita lain dari Gunung Tambora yang menghiasi panorama hidup masyarakat Eropa.
Jika selama ini masyarakat di belahan dunia mengenal Gunung Tambora karena ledakan dahsyatnya mengakibatkan berakhirnya masa kejayaan Kaisar Prancais, Napoleon, Singa daratan Eropa dalam pertempuran Waterloo yang terjadi pada tanggal 18 Juni 1815 di dekat kota Waterloo sekitar 15 km selatan ibu kota Belgia, Brussels. Atau Tambora memiliki kaldera terbesar di dunia. Atau juga danau purba Satonda berisi air asin yang terbentuk akibat letusan pasak bumi Tambora. Namun dibalik itu semua terselip kekayaan alam zamrud khatulistiwa, yaitu Kopi Tambora.
Kopi Tambora adalah Kopi yang tumbuh dan berkembang di lereng Gunung Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dalam sejarahnya, Kopi ini mulai ditanam sejak jaman penjajahan Hindia Belanda.
Awalnya Kopi Tambora sebatas untuk konsumsi rumah tangga. Lama kelamaan dikomersialkan di pasar lokal. Karena memiliki nilai jual tinggi, sekarang Kopi Tambora sudah mengarungi Samudera.
Perjalanan DimulaiÂ
Seperti kita ketahui, Kopi termasuk Kopi Tambora memiliki nilai ekonomis tinggi dan pangsa pasar yang jelas dan luas, karena hampir semua manusia di muka bumi ini pasti meminum kopi, dan tidak mengenal umur maupun jenis kelamin.
Peluang itulah yang ditangkap oleh Muhdar, seorang doktor yang mengajar di SMA Negeri 2 Dompu.
Dia mulai bergelut di usaha Kopi sejak tahun 2015. Alasannya karena potensi Kopi di kawasan Gunung Tambora sangat luar biasa. Sayangnya biji Kopi Tambora selama ini lebih banyak dibeli oleh orang luar daerah dalam bentuk mentah, dengan harga yang miring karena cara memetiknya yang asal asalan.

Berangkat dari kondisi itulah, ketimbang Kopi Tambora dibeli dengan harga murah oleh orang lain, sementara terbuka peluang bisnis, dimana biji kopi memiliki produk turunan seperti kopi bubuk, parfum kopi untuk mobil, dan sabun kopi bernilai ekonomis tinggi. Akhirnya diputuskanlah menjadi pebisnis kopi sembari menjadi Umar Bakri.
Modal Dengkul
Diawali dengan modal dengkul, dia hanya memiliki uang 350 ribu rupiah. Waktu itu biji kopi hanya mampu dibeli 10 sampai 20 kilogram dengan harga per kilogram 21 ribu rupiah di pasar tradisional di Kecamatan Pekat.