EDITOR, Dompu – Sidang adjudikasi sengketa Pilkada yang dimohonkan pasangan SUKA, Syaifurrahman Salman dan Ika Rizky Veryani hari Sabtu, 3 Oktober 2020 mengagendakan pemeriksaan bukti, mendengarkan keterangan saksi fakta, dan keterangan ahli dari pemohon.
Saksi fakta yang dimajukan ada 5 saksi, 2 orang saksi dari unsur penghubung (LO) pasangan Pilkada dan 3 saksi dari unsur partai pengusung.
Sementara ahli yang dihadirkan yaitu Dr. Dian Puji Simatupang ahli hukum Administrasi Univesitas Indonesia, Dr. Tongat ahli hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Malang, dan Prof. Dr. Gatot Dwi Hendro Wibowo ahli hukum Tata Negara dan hukum Administrasi Negara.
Ahli hukum pidana Universitas Mataram Prof. Dr. Gatot Dwi Hendro Wibowo dalam kesimpulan legal opinion sengketa Pilkada serentak di Bawaslu Dompu tanggal 3 Oktober 2020 poin 1 menyatakan : “Bahwa baik norma “pembebasan bersyarat” maupun “bebas akhir” dalam penentuan selesainya menjalani pidana penjara, sama-sama memiliki dasar hukum dan argumentasi yang cukup kuat, bahkan dapat dikatakan bahwa kedua norma hukum tersebut bukan merupakan sebuah pilihan (alternative) namun bersifat akumulatif; artinya kedua norma tersebut bersifat komplementer, saling mendukung dan tidak saling menegasikan satu sama lain,”.
Pendapat diatas disampaikan secara lisan dan tertulis dihadapan majelis musyawarah Bawaslu Dompu pukul 20.00 Wita, sebagaimana dimohonkan tim hukum pasangan Syaifurrahman Salman – Ika Rizky Veryani, pasangan SUKA.
Berikut isi lengkap legal opinion Prof. Gatot yang diperoleh editor dari tim hukum pasangan Syaifurrahman Cika.
KASUS POSISI
Pemohon mengajukan pendaftaran untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) serentak tahun 2020. Setelah melalui verifikasi calon, maka pada tanggal 23 September 2020 KPU Kabuparten Dompu menyatakan bahwa pemohon tidak memenuhi syarat, dengan alasan belum 5 tahun bebas murni.
KPU Kabupaten Dompu menghitung jeda waktu 5 tahun dari bebas murni, karena setelah bebas murni baru dinyatakan sebagai mantan narapidana. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No.56/PUU-XVII/2019, dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 ditegaskan bahwa ada jeda 5 tahun setelah menjalani pidana penjara.
Menurut keterangan LAPAS Pemohon bebas bersyarat pada tanggal 27 Oktober 2014. Ini berarti sudah lewat 5 tahun. Waktu yang sudah cukup bagi pemohon untuk mengajukan pendaftaran.
Pertanyaan hukumnya, sejak kapan narapidana disebut sebagai mantan narapidana, apakah mengikuti fatwa Mahkamah Agung yang menyebutkan sejak bebas bersyarat atau mengikuti Surat Edaran KPU Nomor 735, yang menyatakan mantan nara pidana sejak bebas murni.
Dalam PKPU Nomor 1/2020 tidak diuraikan secara limitative mengenai pengertian mantan nara pidana, dalam PKPU ini hanya menyebutkan bahwa nara pidana itu maksudnya telah selesai menjalani pidana penjara.
Pengertian “telah selesai menjalani pidana penjara” ini yang perlu diklarifikasi, apakah sejak bebas bersyarat atau bebas murni.
DASAR HUKUM
- Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
- Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada);
- Putusan Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia Nomor 56/PUU-XVII/2019
- Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
ANALISIS YURIDIS
• Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang
Pasal 7 ayat (1), menyebutkan : “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Pasal 7 ayat (2) huruf g : Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa pasal 7 huruf g UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. MK juga menilai bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,”
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi syarat tambahan bagi calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana yakni harus menunggu masa jeda selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara mendapat respon positif dari sejumlah pemangku kepentingan.
Beberapa pihak menilai putusan MK itu sebagai “jalan tengah” terhadap polemik pencalonan mantan terpidana korupsi dalam jabatan publik termasuk dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada sebagian kelompok masyarakat yang berpendapat, mantan narapidana tak boleh maju dalam pilkada sebagai sanksi sosial dan memberikan efek jera bagi pelakunya.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lain berpendapat, mantan narapidana tetap diperbolehkan maju dalam pilkada sebagai hak konstitusional untuk memilih dan dipilih (HAM) yang melekat setiap warga negara
• Istilah “terpidana” dan “mantan narapidana” serta kaitannya dengan masa Jeda 5 tahun.
Berdasarkan surat yang diajukan oleh Bawaslu RI Nomor 0242/Bawaslu/IX/2015 tanggal 2 September 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Ketua Muda Pidana yang saat itu diketuai oleh Dr Artidjo Alkostar SH.,LLM. mengeluarkan jawaban atas permohonan fatwa Mahkamah Agung RI, yang inti dari fatwa Mahkamah tersebut, Pertama, penjelasan mengenai istilah Terpidana dan mantan narapidana. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dengan demikian mantan terpidana adalah seseorang yang pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hokum tetap. Kedua, Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Dengan demikian mantan narapidana adalah seseorang yang telah pernah menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Ketiga seseorang yang berstatus bebas bersyarat karena telah pernah menjalani pidana didalam LAPAS maka dikategorikan sebagai mantan narapidana.
Membaca fatwa Mahkamah Agung tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang terpidana belum tentu nara pidana (karena bisa jadi seorang terpidana walaupun sudah dipidana tetapi dia tidak menjalani pidana dalam LAPAS) sedangkan seorang nara pidana sudah pasti seorang terpidana karena pernah menjalani pidana hilang kemerdekaan di dalam LAPAS). Penjelasan Mahkamah Agung tersebut memberikan makna pembedaan istilah didasarkan kepada pernah tidaknya dipidana seseorang masuk dan menjalani hukuman di LAPAS. Ketika menyandang predikat sebagai mantan narapidana maka yang bersangkutan dianggap telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
Dengan memperhatikan rumusan norma di atas dikaitkan dengan Surat Keterangan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram, yang menyebutkan tanggal pembebasan bersyarat Pemohon adalah 27 Oktober 2014 maka sejak tanggal itu sebenarnya pemohon sudah dapat dikatakan sebagai mantan narapidana. Selanjutnya, oleh karena telah melampaui masa jeda 5 (lima) tahun, maka tidak ada halangan bagi yang bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati dan/atau Wakil Bupati.
• Disisi yang lain dasar hukum yang dipergunakan adalah PKPU Nomor 1 Tahun 2020, tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan Surat KPU Republik Indonesia Nomor 735/P.L.02.2-SD/06/KPU/IX/2020 tertanggal 5 September perihal Penjelasan Mantan Terpidana.
Dalam PKPU Nomor 1 Tahun 2020, Pasal 1 angka 21 menyebutkan bahwa :
”mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administrative dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia” (norma baru yang tidak ada dalam peraturan dasarnya)
Pasal 4 ayat (2a) menyebutkan bahwa :
“Syarat tidak pernah sebagai terpidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat 1 huruf f dikecualikan bagi mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Pasal 4 ayat (2e) menyebutkan bahwa :
Jangka waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) terhitung sejak tanggal bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya sampai dengan pada saat pendaftarannya sebagai bakal calon“.
Berdasarkan penjelasan di atas KPU mendasarkan dalil selesai menjalani hukuman itu bukan pada pembebasan bersyarat melainkan tanggal bebas akhir yaitu tanggal 28 Maret 2016, sehingga berdasarkan ketentuan norma di atas, pemohon dianggap belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati dan Wakil Bupati
Pertanyaannya, mana yang lebih kuat kedudukannya Fatwa MA atau PKPU dan/atau Surat Edaran KPU ? Menurut hemat saya keduanya tidak seyogyanya diperhadapkan satu sama lain karena domeinnya juga berbeda. Jika menyoal kedudukan fatwa MA, kendatipun bukan Putusan hakim (Vonis) yang mengikat secara hukum kepada para pihak yang berperkara; namun kekuatan mengikat fatwa MA bersifat etik. Sebagaimana kita tahu, bahwa hukum atau peraturan itu baru bermakna jika dapat dikembalikan kepada prinsip atau asasnya yang sarat dengan muatan etik didalamnya. Fatwa MA berfungsi untuk memberikan solusi atas masalah hukum yang urgen yang diajukan oleh oleh siapa pun, dalam hal ini termasuk oleh Bawaslu RI dalam penyelesaian perselisihan pemilu. Fakta hukumnya bahwa fatwa MA itu muncul atas permintaan dari bawaslu RI sendiri. Dengan demikian, fatwa MA mengikat secara etis dan seyogyanya dijalankan dan dipatuhi oleh Bawaslu RI berikut jajarannya sampai ke daerah.
Sedangkan PKPU dan/atau Surat Edaran KPU adalah dasar hukum dan pedoman bagi KPU dalam penyelenggaraan pemilu pada setiap level jajaran KPU mulai dari Pusat sampai daerah. Beberapa catatan terkait dengan rumusan norma yang dijadikan dasar oleh KPU di atas, Pertama, KPU tidak seharusnya membuat norma baru dan/atau membuat penafsiran hukum untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi seseorang untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan membuat aturan larangan mantan narapidana koruptor ikut Pilkada 2020 ada di tangan DPR, bukan KPU. Pembatasan hak warga negara menjadi kewenangan pembentuk Undang Undang. Sedangkan tugas KPU wajib menjaga administrasi penyelenggaraan pemilu/pilkada saja, bukan membuat politik penyelenggaraan pemilu, karena itu wilayahnya DPR. Singkatnya, janganlah hak seseorang yang dijamin dengan undang-undang itu dirampas oleh peraturan KPU dan/atau Surat Edaran KPU, biarlah rakyat sendiri yang memutuskan apakah seorang mantan narapidana pantas untuk tampil memimpin Daerah ini.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
- Bahwa baik norma “pembebasan bersyarat” maupun “bebas akhir” dalam penentuan selesainya menjalani pidana penjara, sama-sama memiliki dasar hukum dan argumentasi yang cukup kuat, bahkan dapat dikatakan bahwa kedua norma hukum tersebut bukan merupakan sebuah pilihan (alternative) namun bersifat akumulatif; artinya kedua norma tersebut bersifat komplementer, saling mendukung dan tidak saling menegasikan satu sama lain;
- Berdasarkan ketentuan pada point 1 di atas, Bawaslu Dompu perlu mempertimbangkan solusi “jalan tengah” sebagaimana yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi di atas. Artinya tidak lagi mempersoalkan “pembebasan bersyarat” atau “bebas akhir“. Hal ini memperoleh pembenaran secara teoritik bahwa jika terjadi “kejumudan” dalam melaksanakan kepastian hukum, masih ada nilai dasar hukum lain yang harus dipertimbangkan yakni nilai dasar kemanfaatan dan nilai keadilan didalamnya.
- Bahwa hukum (dalam arti sempit juga termasuk peraturan) sesungguhnya adalah instrument atau alat saja bukan tujuan. Tujuan yang sesungguhnya adalah menciptakan keadilan, keharmonisan, keseimbangan, dan kedamaian dalam masyarakat. Dalam kasus kasus tertentu, hukum juga berfungsi sebagai “law as a tool of social engineering”.
Ahli,
Prof. Dr. H. Gatot Dwi Hendro Wibowo, SH.,M.Hum.
Kuasa hukum SUKA Kisman Pangeran berkomentar dalil dan keterangan hukum Prof. Gatot meluruskan keputusan KPUD Dompu yang salah, yang menyatakan SUKA tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai peserta Pilkada Dompu, dimana landasan keputusan KPUD berdasarkan PKPU No. 1 tahun 2020, diikuti surat edaran KPU nomor 735 tanggal 5 September 2020.
Bahkan pendapat hukum Gatot membantah dan menganulir dasar hukum KPUD Dompu didalam menggugurkan pencalonan Syaifurrahman.
“Tiidak ada alasan bagi KPUD Dompu menggugurkan pencalonan Syaifurrahman Salman sebagai calon Bupati di Pilkada Dompu karena tidak ada masalah, aturannya sudah jelas dan dalilnya kuat sehingga wajib ikut Pilkada,” tegas Kisman. (my).