Oleh: Rina Syafri*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan 16 dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dirahasiakan dari publik. Dokumen-dokumen tersebut mencakup profil singkat, laporan harta kekayaan, hingga ijazah pendidikan.
Peraturan baru ini langsung berlaku. Dalam arti, semua dokumen capres dan cawapres yang ada di KPU selama ini tidak boleh dilihat oleh siapa pun.
Sebagai warga biasa, saya tidak punya akses ke ruang kekuasaan. Saya hanya punya logika sederhana dan naluri untuk membedakan mana yang wajar dan mana yang janggal.
Ketika aturan ini muncul di tengah ramainya isu keabsahan ijazah mantan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Gibran, saya dipaksa untuk berpikir keras. Kenapa sekarang? Kenapa bukan dari dulu?
Saya bukan ahli hukum. Tapi saya tahu bahwa jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan publik. Maka dokumen persyaratan mereka juga seharusnya menjadi milik publik.
Dengan gercep KPU menetapkan dokumen itu sebagai rahasia, saya justru semakin curiga. Logika manusia bodoh pun bisa menangkap bahwa ini bukan sekadar kebijakan administratif. Ini seperti gerakan refleks untuk menutup sesuatu yang sedang dipertanyakan.
Alih-alih meredakan keraguan, keputusan ini justru memperkuat penilaian masyarakat bahwa ada masalah serius dalam dokumen pencalonan.
Saya tidak ingin berspekulasi. Tapi saya juga tidak bisa menolak kenyataan bahwa tindakan KPU ini membuat saya dan banyak orang awam lainnya merasa dipaksa untuk curiga.
Demokrasi seharusnya dibangun di atas kepercayaan. Tapi kepercayaan tidak bisa tumbuh dari kebijakan yang menutup-nutupi.
Jika KPU ingin menjaga integritasnya, maka satu-satunya jalan adalah membuka kembali akses terhadap dokumen publik. Karena semakin ditutup, semakin besar kecurigaan itu tumbuh. Dan kami, orang awam, akan terus dipaksa untuk berpikir keras atas sesuatu yang seharusnya jelas.
*Pemerhati Sosial Politik







